Pada tahun 1952, seorang penjaga pantai Amerika Serikat bernama Bernie Webber (Chris Pine) diminta oleh kekasihnya, Miriam (Holliday Grainger) untuk segera menikahinya. Tetapi, karena tugasnya sebagai penjaga pantai yang sering dibutuhkan di waktu yang tak pasti, Webber harus meminta izin dulu kepada atasannya, Daniel Cluff (Eric Bana) meski hanya sebatas formalitas.
Ironisnya, ketika Webber memberanikan diri untuk meminta izin kepada Cluff, sebuah peristiwa naas terjadi di perairan Amerika Serikat. Ada dua kapal tanker yang terbelah di lautan dikarenakan badai dan ombak yang besar. Alhasil, belum sempat meminta izin, Webber diperintahkan Cluff untuk membawa tiga awak terbaiknya, Richard Livesey (Ben Foster), Andy Fitzgerald (Kyle Gallner) dan Ervin Maske (John Magaro) untuk menyelamatkan awak salah satu kapal tanker yang selamat.
Cuaca yang memang sedang buruk kala itu, membuat misi Webber dan awaknya terlihat mustahil. Para penjaga pantai yang senior bahkan menyarankannya untuk tidak melakukannya, karena dianggap sama saja dengan bunuh diri. Tapi, Webber dikenal orang yang selalu berpendirian teguh, taat perintah dan yakin dengan apa yang dia lakukan meski banyak rintangan yang menghadang. Akhirnya, ia dan empat awaknya pun berangkat.
Itulah beberapa penggalah peristiwa yang mengawali film terbaru dari Disney berjudul The Finest Hour. Ini adalah film non animasi pertama yang dirilis Disney tahun 2016. Film ini mengangkat kisah nyata yang luar biasa tentang penyelamatan paling berani dalam sejarah US Coast Guard dan hingga kini diakui sebagai usaha penyelamatan terbaik dalam sejarah.
Film yang mengangkat kisah nyata dan sejarah memang selalu menarik untuk disaksikan. Namun, tak peduli apapun genrenya, kekuatan cerita, kemasan dan storytelling menjadi faktor terpenting dalam film jenis ini. Tanpa tiga hal tersebut, peristiwa nyata itu bisa dikatakan menjadi monoton dan hambar, hanya sebatas cerita yang hanya divisualisasikan. Terlebih jika itu membutuhkan waktu lama untuk diceritakan, yang menonton bisa bosan dan bahkan mengantuk.
Pihak Disney paham betul soal itu, terutama kala menggarap film diadaptasi dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Casey Sherman dan Michael J. Tougias tersebut. Film yang disutradarai oleh Craig Gillespie ini dikemas Disney dengan begitu sederhana, tetapi tetap diimbangi dengan plot yang dinamis. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik dari film The Finest Hour.
Hal lain yang menjadi daya tarik film ini adalah terkait penggunaan teknologi visual atau CGI yang luar biasa. Selain bakal memanjakan mata, sobat nonton juga akan seperti merasakan sekali ketegangan dan kengerian berada di sebuah kapal tanker minyak berukuran 500 kaki, SS Pendleton yang terbelah di lautan dengan badai dan ombak yang sangat besar. Begitu intens dan terasa sangat nyata. Mungkin itu kalimat yang paling cocok untuk menggambarkannya.
Meski begitu, Anda tidak akan melulu disajikan tontonan yang hanya fokus pada satu scene atau peristiwa saja, melainkan scene dan kejadian yang selalu bergantian satu sama lain tanpa harus menunggu salah satu scene selesai terlebih dahulu. Sehingga, sobat nonton dijamin tidak akan cepat merasa bosan, monoton atau bahkan lelah ketika menonton film ini. Semua unsur yang ada, baik itu drama, dialog, maupun efek visualnya disajikan dengan sangat efektif dan efisien.
Sementara untuk soal akting, bagi sobat nonton penggemar Chris Pine atau pernah melihat penampilannya di film lain, akan merasakan sesuatu yang berbeda. ‘Chris Pine at his best’, mungkin itu ungkapan yang paling pas untuk menilai penampilannya di film ini. Pembawaannya begitu tenang, permainan mimik mukanya menarik dan paling terasa adalah ia sedikit merubah suaranya. Totalitasnya begitu terasa dan impresif tentunya.
Apakah Bernie Webber, Richard Livesey, Andy Fitzgerald dan Ervin Maske berhasil menyelamatkan para awak kapal tanker tersebut?. Temukan jawabannya dalam film The Finest Hour yang tayang mulai 29 Januari 2016 di Cinema kesayangan Anda.
Sumber : http://www.21cineplex.com