Apakah kita semua sepakat mengklasifikasikan Rambo sebagai jagoan? Dulu, John Rambo hanyalah seorang veteran yang terpaksa menjalani hidup yang ironis. Sekarang, lewat film terbarunya Rambo: Last Blood, ia sekadar menjadi mesin pembunuh. Betul, ia memang hanya membantai orang jahat. Namun, melihat bagaimana cara film ini mempresentasikan dirinya, saya merasa Rambo bisa menemukan alasan apa pun untuk memutilasi kita.
Sudah 37 tahun berlalu sejak film pertamanya, First Blood. Setelah di film keempat menyelamatkan orang-orang di Burma, “jagoan” kita (Sylvester Stallone) memilih menyepi ke kampung halamannya di pinggiran Arizona. Hari-harinya dihabiskan untuk merawat kuda dan menjaga cucu tetangga yang masih remaja, Gabrielle (Yvette Monreal) yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Oh, dan hobi Rambo di waktu senggang adalah bikin terowongan bawah tanah. Ngomong-ngomong, di gudang ada panah, paku, pistol, dan ranjau.
Gak ada yang aneh gaes. Moving on.
Suatu hari, Gabrielle mendapat kabar soal ayah kandungnya yang ternyata berada di Meksiko. Jangan pergi ke sana, kata Rambo. Baik om, kata Gabrielle. Tapi, bodoamat sama larangan om, pikir Gabrielle. Maka berangkatlah sang remaja belia yang cantik ini melintasi perbatasan negara menuju daerah nan kumuh dan mencurigakan. Tak perlu disebutkan lagi bahwa ia akan menyesali keputusan ini sampai akhir hayatnya.
Rambo, yang belakangan mengetahui hal ini, langsung cus menjemput Gabrielle. Tak usah pikirkan bagaimana Rambo boleh membawa pistol saat masuk negara orang. Ini mengantarkannya berjumpa dengan mafia yang dipimpin Hugo (Sergio Peris-Mencheta) dan Victor (Óscar Jaenada). Tanpa persiapan yang berarti, Rambo dihajar habis-habisan. Tapi si mafia membiarkannya hidup (Paz Vega numpang lewat sebagai karakter yang menyelamatkan Rambo sekaligus memberikan eksposisi bagi plot). Tak perlu disebutkan lagi bahwa mereka akan menyesali keputusan ini sampai akhir hayat mereka.
Semua komplikasi ini pada akhirnya membawa mafia menyerbu rumah Rambo. Tak usah dipikirkan bagaimana rombongan mafia ini bisa masuk Amerika dengan persenjataan lengkap. Tentu saja yang namanya Rambo, ia pasti bakal me-Rambo-kan mereka semua. Pe-Rambo-an ini adalah sesi utama film dan disajikan dengan kebrutalan yang luar biasa. Sutradara Adrian Grunberg tak tanggung-tanggung menunjukkan darah berceceran, anggota badan ditusuk dan dipotong, dan tubuh berhamburan karena meledak dan terbakar.
Saya perlu beritahu bahwa bagian ini hanya sekitar 15 menitan saja dari total 90 menit durasi. Jadi ia tak punya waktu untuk membangun hal dasar yang membuat First Blood begitu superior; tak ada suspens, tak tensi. Semua hanyalah parade sadisme. Saya bukannya sok antisadisme, tapi sadisme hanya untuk tujuan sadisme belaka, buat saya adalah trik gampangan. Skrip yang ditulis Stallone bersama Matt Cirulnick juga gagal dalam meyakinkan kita untuk menjustifikasi pembalasan yang dilakukan Rambo. Para begundal ini memang tak bermoral, tapi modus dan latar belakang mereka begitu basi dan dangkal. Saat mereka menemui takdir mereka, kita tak merasa sepuas itu.
Kita juga tak begitu merasa terhadap Rambo sendiri; kesannya, Rambo membantai karena “akan membantai”, bukan karena “harus membantai”. Sayang sekali film ini sudah menghabiskan waktu hampir 3/4 durasi untuk bercerita, tapi tak menemukan cukup amunisi untuk membangun cerita sungguhan. Hasilnya, kita mendapatkan film Rambo yang berada di garis canggung di antara semuanya. Tak se-masterful film pertama, tapi juga nanggung sebagai pertunjukan bombastis penuh adrenalin seperti film-film belakangan. Tone-nya suram, tapi ditangani dengan generik. Kalau pun ini adalah film soal bantai-bantaian belaka, buat apa kita harus dibawa bersabar selama satu jam?
Konon, Rambo: Last Blood direncanakan sebagai aksi terakhir Rambo, sesuai dengan judulnya yang bermakna harfiah menutup First Blood. Kalau memang begitu, saya kira tak salah kalau kita mengharap konflik Rambo kembali berpijak ke film tersebut; tentang seorang “terluka” yang melakukan apa yang ia lakukan karena keadaan. Kita harap Stallone dan pembuat film akan melepas Rambo dengan penuh hormat. Namun, film ini tak punya rasa sebagai sebuah finalisasi dari hal tersebut. Rasanya ini cuma seperti hari biasa di keseharian Rambo; yaa biasalah, manahin orang, nusuk kaki, belah dada, potong kepala, dll.
Sumber: http://www.ulasanpilem.com